Di hutan di Desa Bina Jaya
Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo hidup beberapa kolompok manusia yang
disebut oleh masyarakat Gorontalo sebagai suku Polahi. Jumlah warga suku Polahi
yang terdata di Desa Bina Jaya berjumlah 11 kepala keluarga (KK).
Suku Polahi adalah warga masyarakat Gorontalo yang
terisolir di kawasan pedalaman provinsi Gorontalo. Untuk mencapai ke lokasi
perkampungan Polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam. Namun
sebagian di antara mereka sudah mulai beradaptasi dengan kehidupan masyarakat
sekitar.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Gorontalo
bahwa suku Polahi adalah mereka yang tidak mau ditindas dan dijajah oleh
Belanda, sehingga dari beberapa kolompok masyarakat banyak yang mengamankan
diri dengan cara berpindah tempat masuk ke dalam hutan.
Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira
200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka
tinggal di hutan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Suku terasing Polahi
umumnya hidup berpencar dalam kelompok-kelompok kecil.
Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo telah
mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan kelompok 9, kelompok 18, kelompok 21
atau kelompok 70, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu kampung.cara
mengenal suku Polahi, yaitu berbadan tegap dan kekar, berjalan sangat cepat,
bahasa Gorontalo asli, jari kaki mereka terbuka, dan tangan mereka sangat
kekar.
Jika menelusuri sejarah perjuangan rakyat Gorontalo
dalam mengusir penjajah, ternyata terdapat benang merah yang dapat ditarik
untuk mengetahui bagaimana suku Polahi pertama kali muncul.
Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki
jiwa patriotisme yang sangat tinggi, sehingga mereka rela mengasingkan diri di
hutan dengan alasan menolak kerja paksa dan tuntutan membayar pajak kepada
kompeni.
Secara rinci bahwa perlawanan rakyat Gorontalo
terhadap kaum penjajah sudah dimulai sejak Eyato menjadi raja di Gorontalo pada
tahun 1673 sampai 1679 Masehi. Terlepas dari itu semua, yang pasti suku Polahi
ini ada, karena mereka tidak menginginkan hidup dalam kungkungan dari para
penjajahan.
Suku Polahi yang masih primitif ini dulunya sangat
ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Jika kita bertemu
dengan mereka berada dalam hutan, maka kita akan diusir bahkan dibunuh jika
melawan.
Ini mereka lakukan karena mereka tidak menginginkan
kehadiran orang lain, mereka masih mengangap bahwa orang yang datang itu adalah
penjajah.
Dalam kesehariannya mereka menghabiskan seluruh waktu
mereka di dalam hutan dengan hanya mengandalkan gubuk kecil beratapkan dedaunan
tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara mereka.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
biasanya berburu babi hutan, rusa dan ular. Selain itu mereka juga mengkonsumsi
dedaunan, umbi umbian, dan akar rotan sebagai makanan sehari hari.
Untuk memasak mereka menggunakan batang bambu sebagai
wadah. Cara memasaknya juga amat sangat sederhana, yaitu dengan memasukkan
semua bahan makanan ke dalam lubang bambu lalu membakarnya di atas perapian
hingga batang bambu tadi retak atau pecah sebagai tanda bahwa makanan telah
selesai di masak.
Makanan tersebut 100% asli tanpa bumbu apapun, karena
mereka juga belum mengenal bumbu bumbuan.
Hal-hal Unik Suku Polahi
Hal unik lainnya dari suku Polahi adalah cara
berpakaian. Kalau kita mengenal beberapa suku di Papua menggunakan Koteka
sebagai penutup aurat, maka Suku Polahi lebih memilih menggunakan cawat yang
mereka buat dari daun yang diikat menggunaan tali dari kuit kayu.
Cawat ini juga digunakan oleh kaum perempuan. Mereka
belum mengenal penutup dada alias Bra. Jadi kaum perempuan suku Polahi dalam
kesehariannya adalah toples alias setengah bugil.
Yang paling unik dari suku ini adalah sistem
perkawinan. Mereka mungkin satu satunya suku di Indonesia yang menganut
perkawinan sedarah, dimana jika satu keluarga memiliki anak laki laki dan
perempuan maka mereka otomatis akan di nikahkan dengan saudaranya tersebut.
Jadi anak anak mereka sekaligus menjadi menantu
mereka. Bahkan sang ibu bisa menikahi anak lelakinya dan sang ayah bisa
menikahi anak perempuannya. Jelas bahwa budaya ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama, bahkan sangat dilarang. Karena dalam Islam dikenal konsep muhrim
yang mengatur hubungan sosial antara individu yang masih terhitung dalam
kekerabatan.
Kehidupan suku Polahi yang sudah mengenal masyarakat
dapat dilihat pada acara yang telah diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata
Kabupaten Gorontalo, dimana dalam acara pembukaan kegiatan Danau Limboto
Carnival 2012.
Pagelaran seni dan budaya Suku Polahi merupakan
rombongan yang paling di favoritkan oleh banyak wartawan, photografer, bahkan
masyarakat luas ikut mengabadikan mereka dalam foto bersama.
Pada acara tersebut, kita dapat membedakan suku Polahi
yang masih primitif dan suku Polahi yang sudah beradapatasi dengan masayarakat.
Mereka sudah menggunakan pakaian sama dengan masyarakat lainnya.
Bahkan pada acara Goverment Mobile 1 telah dilakukan
pernikahan massal. Dalam acara tersebut, salah satu pasangan pengantin berasal
dari suku Polahi. Mereka dinikahkan secara agama Islam.
Pemerintah daerah juga telah menyediakan rumah layak
huni (Mahyani) yang berjumlah 9 unit dan ditempati oleh 11 KK, tapi entah
mengapa mereka meninggalkan rumah tersebut. Beberapa alasan yang diperoleh dari
masyarakat setempat bahwa mereka tidak merasa nyaman tinggal di rumah tersebut,
sehingga mereka memilih kembali lagi ke dalam hutan sebagaimana biasanya.
Sekarang ini ada beberapa orang Polahi yang sering
datang ke desa terdekat apalagi pada waktu hari pasar. Sesuai penuturan mereka
pada kami bahwa untuk melakukan perjalanan ke kampung memerlukan waktu 4 jam
jalan kaki.
Mereka datang ke desa terdekat dengan tujuan
berbelanja di pasar untuk keperluan secukupnya seperti membeli susu untuk anak
bayi, membeli parang dan lain sebagainya, Selain membeli, mereka juga menjual
hasil kerajian tangan serta hasil perkebuan kepada masyarakat.
Para kaum Polahi ini telah mengenal alat pembelian
(uang) dan mereka juga di jadikan sebagai kijang (alat transpotasi tenaga
manusia) oleh sebagian masyarakat penambang yang berada di hutan, dan sebagai
gantinya mereka harus dibayar sesuai apa yang mereka kerjakan.
Contohnya, seorang Polahi yang membawa beras satu karung dari desa ke tempat penambang, sebagai
gantinya orang yang menyuruh harus membayar mereka dengan jumlah Rp250.000
begitu juga dengan bahan-bahan lainnya.
Suku Polahi walaupun terlihat menjalani hidup seperti
orang primitif, tetapi sebenarnya mereka tidaklah terlalu primitif, karena
mereka juga berkomunikasi dengan masyarakat lain di desa yang dekat pemukiman
mereka. Selain itu mereka juga mengenal cara bercocok-tanam seperti membuka
lahan menanami jagung, rica dll.
Suku Polahi merupakan suku yang termarjinalkan
sehingga butuh perhatian dari kita semua apalagi dari Pemerintah Daerah,
seperti yang disampaikan oleh Bupati Gorontalo Drs David Bobihoe Akib MSC, MM. bahwa
keberadannya suku Polahi ini sangat terpinggirkan, bahkan nyaris tidak
tersentuh dengan program pemerintah.
Berawal dari itu, pemerintah kabupaten Gorontalo telah
berusaha melakukan pendekatan serta penjelasan, sebab semua itu menjadi
tanggungjawab Pemerintah Daerah untuk mengangkat derajat dan martabat kehidupan
mereka.
Pemerintah Daerah telah berusaha memfasilitasi dengan
menikahkan suku Polahi dengan masyarakat umum secara massal dan telah
menyediakan rumah layak huni, selain itu juga Pemda telah mendatangkan tenaga
ustad yang akan memberikan pendidikan dan pembinaan agama Islam terhadap suku
terasing Polahi.
Sehingga Bupati Gorontalo berharap bagi suku Polahi
yang masih mengasingkan diri di hutan agar dapat bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar.
sumber: infopublik.kominfo.go.id
0 komentar:
Posting Komentar